Gerakan masyarakat kota salatiga tentang penolakan kenaikan (tepatnya ganti harga) tarif air PDAM berawal dari putusan walikota (perwali – peraturan walikota no 36 2006) yang menyatakan kenaikan (perubahan) tarif harga air PDAM dari yang semula Rp 400 per m3 diusulkan “naik” secara bertahap menjadi Rp 1.095 per m3 atau dengan kata lain kenaikannya mencapai 173,75 persen. Sebuah harian surat kabar nasional (Kompas, 23/8/2006) memberitakan “Kenaikan” tarif air tahap I yang diusulkan menjadi Rp 810 per m3 atau naik 102,5 persen, ditargetkan dapat diberlakukan mulai 1 September 2006. Kenaikan tahap II menjadi Rp 1.095 per m3 baru diberlakukan enam bulan berikutnya.
Dilapangan, banyak masyarakat yang protes dengan putusan pemerintah kota salatiga, sebabnya tidak ada kenaikan saja pelayanan yang diberikan oleh pihak PDAM tidak memuaskan. Seorang ibu (bernama Tutik) yang berdomisili di tegalrejo pernah marah-marah di kantor PDAM gara-gara dia harus menanggung denda pembayaran akibat keterlambatan bayar 2 menit. “Masa terlambat 2 menit saja tidak bisa ditolerir, padahal jelas kantor juga belum tutup, ini jelas kalian (PDAM) mau untungnya sendiri. Padahal air ditempat saya, tidak selancar mengalir. Kadang malam, kadang pagi, kadang siang, nggak jelas …”, jelasnya.
Harian Kompas 13/10/2006 juga memberitakan respon masyarakat kota pasca penetapan perubahan harga air PDAM 1 oktober 2006; “Saat sosialisasi, kenaikan yang disampaikan ke pelanggan hanya Rp 810 per meter kubik. PDAM tidak memberitahu kalau untuk rumah tangga kelas II tarifnya Rp 1.390 per meter kubik. Apa ini namanya bukan pembohongan kepada masyarakat,” kata Suryani (44), pelanggan di Tegalsari, seusai membayar tagihannya di kantor PDAM Salatiga.
Pelanggan lain, Supriyanto (40), warga Tegal Rejo Permai, memprotes pengenaan tarif yang harus ia bayar sebesar 10 meter kubik. Padahal, pemakaiannya dalam sebulan hanya sembilan meter kubik. Selain itu, angka pada meteran air hanya tertera 1.468 meter kubik, tetapi pada tagihan dicantumkan 1.489 meter kubik. “Saya tak mempersoalkan kenaikan tarif asalkan pencatatan meteran benar dan air mengalir secara teratur. Sudah tarif naik, tetapi air dalam sebulan hanya mengalir sembilan meter kubik. Itu karena debitnya sangat kecil. Air hanya bisa mengalir di keran air yang rendah dan tidak bisa mengalir sampai di bak mandi. Saya dan tetangga sudah melaporkan ini ke PDAM, tapi tidak pernah direspons,” katanya.
Nasib lebih mengenaskan dialami Junianto (36), pelanggan di Jalan Kartini, Salatiga. Sejak lama air PDAM di tempatnya tak mengalir sehingga ia terpaksa membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, saat air PDAM tidak mengalir sama sekali, pada meteran tetap tercatat pemakaian sebesar satu meter kubik. Ia masih harus membayar pemakaian minimal 10 meter kubik. (Kompas, 13/10/2006).
Beda lagi kasus yang dialami warga sekitar senjoyo, Dusun Jubug, Tegalwaton (Kab. Semarang). Pihak PDAM Pemerintah Kabupaten secara sepihak mengganti meteran, dan membebankan biaya penggantiannya ke masyarakat. Seperti yang diceritatakan oleh Ibu Suginah (57) warga Jubug,”Masa dulu (biasanya) setiap bulannya bayar air 10 ribu, sekarang kok jadi hampir 300 ribu. Kalo pemerintah mau korupsi jangan ke orang miskin seperti saya, tapi sono ke orang-orang kaya” katanya. “Terus mas, masak 3 hari dendanya mencapai 30 ribu, saya bilang ke petugas ganti meteran saya yang lama saja, saya nggak butuh meteran baru,” lanjutnya bersemangat sambil menunjuk-nunjukan tangannya ke atas. Ada lagi cerita dari Pak Bayan, “Warga di Jubug benar-benar tidak diberitahu dulu oleh pihak PDAM, tiba-tiba saja semua meteran diganti, dan warga harus menanggung biayanya.”
AKSI DEMO MASYARAKAT SALATIGA
Masyarakat yang tergabung dalam kesatuan Rakyat Salatiga Peduli Air di Salatiga (terdiri dari aliansi beberapa kampung, komunitas, ormas, NGO) beramai-ramai menggelar protes ke pemerintah kota salatiga (27 November 2006), menuntut dicabutnya perwali no 36 tahun 2006. Aksi ini adalah aksi yang sudah ke 4 kali, dan hingga sekarang pemerintah kota salatiga masih bersikeras untuk tidak mau mencabut peraturan walikota yang kontroversial ini. Masyarakat di Pancuran, Dukuh, Domas, Pungkursari dan beberapa kampung lain sudah beramai-ramai untuk memboikot bayar PDAM. Bahkan dari komunitas warga Kalitaman dimana salah satu terminal air PDAM Kota Salatiga berada disana sepakat untuk mensabot kran sebagai bentuk protes penolakan kenaikan harga. Proses aksi ini sungguh maju, proses diskusi sampai seting aksi dilakukan secara langsung bersama masyarakat di Percik yang difasilitasi oleh teman-teman RSPA.
Aksi ini merupakan sebuah rangkaian aksi yang akan terus digelar hingga tercabutnya perwali no 36 / 2006. Komunitas pangan yang tergabung dalam FNB – Food Not Bombs // Pangan Untuk Semua juga terlibat dalam aksi ini dengan support kebutuhan logistik (pangan/air) bagi para protester. Bentuk pengelolaan pangan ini juga sangat menarik, karena PUS (FNB) adalah komunitas yang mengelola bahan pangan dari para donasi individu (perorangan) atau komunitas tani yang kemudian di bagi gratis bagi siapa saja. PUS sepakat penolakan perwali no 36 tahun 2006 dan mendukung aksi boikot bayar PDAM.
AIR UNTUK SEMUA !!
BOIKOT BAYAR PDAM !!
#JAK – JARINGAN AUTONOMOUS KOTA (SALATIGA) #